Sejarah Yayasan

Home - Sejarah Yayasan

Sebuah Keajaiban Terwujud di Bali 2007 - 2022

Orang-orang selalu bertanya, "Bagaimana ini dimulai?" Jadi begini:

Setelah peristiwa bom Bali kedua pada bulan Oktober 2005, Suzanne dan saya (Roger) telah mengorganisir dan mengatur tur yang terdiri dari 100 orang, sebagian besar dari mereka adalah orang Amerika yang pergi ke Bali selama dua minggu. Itu adalah kelompok tur terakhir yang dilihat Bali selama berbulan-bulan, dengan negara-negara barat menambahkan Bali sebagai tujuan liburan "berisiko tinggi" yang mengakibatkan runtuhnya industri pariwisata lokal, yang merupakan penghasil pendapatan terbesar di Bali, yang mengalir ke semua aspek kehidupan di Bali.

Setelah tur, kami tinggal di Ubud. Setiap hari, kami melihat secara langsung dampak dari kurangnya bisnis, restoran-restoran yang ditinggalkan dengan staf yang berdiri saja dan mobil taksi yang bersih mengkilap tapi tidak beroperasi. Kami pun memutuskan untuk mengeksplorasi ide untuk membantu para pemuda dan pemudi ini untuk melihat lebih luas selain pariwisata, untuk mendapatkan pengetahuan tentang komputer, email, dan internet yang relatif baru di seluruh dunia yang bisa memperluas minat mereka terhadap kehidupan di luar pandangan lama mereka tentang apa yang bisa didapatkan untuk mencari nafkah. Mereka membutuhkan keterampilan baru dan hal ini yang kami rasa bisa kami tawarkan.

Ada sebuah restoran kecil yang bernama Toko tepat di seberang jalan tempat kami menginap, kami menemukan sebuah warnet yang tidak terpakai, dengan seorang guru komputer muda, Wayan Rustiasa. Kami bertanya kepadanya, jika kami mensponsori anak-anak muda Bali, apakah dia berkenan mengajarkan mereka keterampilan komputer. Dan begitulah hal ini terjadi. Dimulai dengan empat orang murid yang belajar selama enam minggu dengan biaya masing-masing $20 dolar per murid.

Beberapa bulan kemudian, kami kembali ke Ubud, Bali dan diundang untuk makan siang bersama Toko dan Wayan. Para turis kembali berdatangan dan murid-murid kami yang sebelumnya menggunakan warnet untuk belajar perlu dipindahkan.

Toko sangat mendukung proyek kami, dia memberi kami dua pilihan; dia akan memindahkan mobilnya dari garasi dan kami dapat mengubah ruang tersebut menjadi ruang kelas. “Berapa bianyanya?"saya tanya, sekitar $1.500 dolar katanya, atau kami dapat melanjutkan pembangunan dua lantai tambahan di atas bangunan utama yang telah terbengkalai selama ini, dan memiliki bangunan sekolah dengan berisi delapan ruang kelas, ruang pertemuan yang besar, dan kantor pendukung. Saya tertawa, dan berterima kasih kepada Toko atas kemurahan hatinya ketika Toko mengatakan biaya untuk itu sekitar U.S $25.000 dolar.

Saya kembali ke lokakarya yang saya ikuti saat itu, di sebuah ruang seminar yang letaknya di tengah sawah. Saya mampir ke toilet dan mengobrol dengan peserta lain yang tidak saya kenal. Dia bertanya di mana saya makan siang. Saya pun sempat menceritakan secara singkat tentang percakapan dan tawaran Toko kepadanya, kemudian ia bertanya apakah hal tersebut merupakan hal yang ingin saya lakukan.

Dengan yakin saya berkata, "Ya, saya ingin membantu anak-anak muda ini mendapatkan kehidupan yang lebih baik"... Kemudian Gene berkata, "Ayo bertemu kembali saat istirahat berikutnya dan beritahu Toko untuk memulainya" dan dia (Gene) akan membiayai pembangunan sekolah tersebut.

Ketika saya bertanya kepada Wayan apakah dia bisa melakukannya, dia menceritakan kisahnya. Pada usia sembilan belas tahun, dia bekerja di sebuah kantor ekspor dan berteman dengan seorang klien dari Amerika yang menyarankannya untuk mengikuti kelas komputer agar dapat mengembangkan kemampuannya dengan lebih baik. Pada saat itu Wayan sedang menanggung biaya hidup keluarganya dan saudara laki-lakinya yang sakit, sehingga tidak memiliki dana lebih untuk pendidikan dan tidak dapat meninggalkan pekerjaannya untuk melanjutkan sekolah, sebuah situasi yang sangat khas di Bali. Orang Amerika itu bersikeras dan menawarkan untuk membayar gaji dan biaya sekolahnya selama tiga tahun. Dia kemudian ditawari pekerjaan di sebuah lembaga yang disponsori oleh orang Amerika tersebut untuk merancang dan menjalankan sebuah kursus Bahasa Inggris. Dari sana, ia kemudian ditawari untuk menjadi direktur lembaga tersebut.

Setelah tiga tahun mengelola lembaga tersebut, Wayan mendapati dirinya ingin memulai bisnis komputernya sendiri yang kemudian dia lakukan dan saat ini mempekerjakan belasan orang. Setelah mencapai tujuan tersebut, Wayan merasa ingin memberikan kesempatan yang sama kepada orang lain seperti yang ia dapatkan. Bayangkan betapa terkejutnya dia sekarang karena mimpinya telah menjadi kenyataan.

Semua impian kami terwujud, Wayan dan istrinya, Iluh, Suzanne dan saya, bermitra bersama untuk bertanggung jawab dalam menciptakan dan mengelola sekolah di Bali, yang sekarang menjadi LSM/Yayasan nirlaba Karuna Bali, yang menciptakan hubungan langgeng antara saya dan Suzanne dengan dua orang yang sangat unik.

Di sinilah kita - dengan tim yang terdiri dari kumpulan anak muda yang bersemangat. Ratusan siswa muda yang telah keluar masuk melewati pintu-pintu gedung dan kami sekarang bertanggung jawab untuk mengembangkan Pendidikan Menghidupkan Nilai di seluruh Indonesia... benar-benar sebuah keajaiban yang terwujud.

Menariknya, kami menciptakan fasilitas pendidikan yang hebat lebih dari sekadar bangunan fisik, sebuah sekolah dengan program pengembangan diri dimana anak muda Bali dapat merangkul dunia abad ke-21 dan terlibat di dalamnya. Dalam prosesnya, kami semua yang terlibat sejak awal adalah orang-orang yang ditunjukkan bagaimana untuk benar-benar berada di saat ini dan melihat curahan Kesempurnaan Kesucian Kasih.

Sekarang, college ini selalu digunakan secara penuh. Ruang Open Heart di lantai dua menjadi tempat berbagai acara dan seminar, ruang kelas di lantai tiga semuanya digunakan, perpustakaan lantai empat telah digunakan untuk kelas bahasa.

Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu mewujudkan keajaiban yang luar biasa ini, tidak hanya bagi Masyarakat Bali, tetapi juga berdampak pada orang lain di seluruh Indonesia.